Demokrasi adalah kesyirikan model baru?

Ada sebuah wacana/opini yang bertajuk “Demokrasi Merupakan Kesyirikan Model Baru”, opini ini, pada tahap awal, nampaknya dimaksudkan untuk menset pemahaman umat Islam agar memahami bahwa demokrasi yang sekarang dimanfaatkan sebagian umat Islam untuk memperjuangkan Islam adalah sebuah kesyirikan model baru, pada tahap berikutnya, wacana ini nampaknya dimaksudkan agar umat Islam meninggalkan perjuangan melalui demokrasi, dan pada tahap berikutnya lagi, sepertinya akan sampai pada tahap yang dinanti-nanti yaitu parlemen kosong oleh umat Islam yang memperjuangkan Islam dan terisi oleh musuh-musuh Islam baik dari orang-orang kafir maupun dari orang-orang Islam sendiri yang sekularis, liberalis dan kapitalis.

Menurut wacana tersebut, demokrasi yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat adalah bertentangan dengan prinsip Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan hanya hak Allah SWT, menurut wacana tersebut, demokrasi telah merebut hak kedaulatan Allah SWT dan memberikannya kepada rakyat, contoh, bila rakyat menghendaki pelacuran dilegalkan, maka, pelacuran harus dilegalkan walaupun Allah SWT jelas-jelas melarangnya, kasus-kasus semacam inilah yang menurut penggulir wacana tersebut sebagai sumber kesyirikan dari demokrasi. Dan atas nama akidah yang shahih dan alih-alih membersihkan dari kesyirikan, para penggulir wacana ini menyatakan murtad hukumnya orang yang berjuang dan mendukung perjuangan melalui demokrasi.

Hanya Semantik Bukan Subtansi

Sebenarnya, wacana demokrasi sebagai kesyirikan yang menganggap kedaulatan rakyat pada demokrasi bertentangan dengan kedaulatan Allah SWT pada Islam, hanyalah bersifat teoritis belaka yang berkaitan dengan arti secara tekstual –semantik- dan bukan kontekstual –subtansi-.

Untuk memudahkan penggambaran dan pembahasan, kita ambil contoh dari kasus yang mudah, misalnya, ada satu jenis makanan yang telah kita kenal yaitu yang bernama Hot Dog yang artinya daging anjing hangat, maka, secara semantik, hukum dari makanan Hot Dog ini adalah haram, begitulah yang disepakati oleh para ulama bahwa daging anjing haram hukumnya, namun ternyata Hot Dog telah mendapatkan label halal dari lembaga-lembaga yang terpecaya dan dipercaya oleh seluruh umat Islam, mengapa Hot Dog yang berarti daging anjing hangat bisa mendapatkan label halal?, hal ini karena secara subtansi Hot Dog bukanlah roti yang berisi daging anjing, tetapi roti yang berisi daging sapi.

Begitu juga wacana demokrasi sebagai kesyirikan, secara semantik, kedaulatan rakyat pada demokrasi memang nampak bertentangan dengan kedaulatan Allah SWT pada Islam.

Demokrasi : Kedaulatan berada di tangan rakyat

Islam : ” Ingatlah… memerintahkan hanyalah hak Allah…. QS. 7:54.
Mari kita lihat pandangan seorang ustadz yang nampaknya ingin memaksakan pemahamannya tentang kedaulatan rakyat versus kedaulatan Allah SWT :

“Berarti jelas sekali bagi orang-orang beriman, bahwa Allah s.w.t-lah pemilik serta pemegang kedaulatan, bukan rakyat, meskipun rakyat tersebut semuanya terdiri dari orang-orang beriman atau terdiri daripada ulama”

Oleh sebab itu, jelaslah pula bahwa siapapun yang membenarkan, mengusung, mendukung, apa lagi membela doktrin demokrasi sama dengan membenarkan, mengusung, mendukung serta membela usaha dari kaum Yahudi penyembah berhala, penyembah setan untuk menyesatkan orang-orang beriman.

Bagi umat Islam perbuatan tersebut merupakan kekufuran yang nyata yang mengakibatkan batalnya keislaman orang terebut dan pelakunya harus bertobat dengan segera.
Adapun orang yang membenarkan pendapat mereka atau mendukung manhaj mereka, maka dia ini lebih parah, dan kekafirannya pun lebih jelas dan nyata.”

Itu adalah pandangan seorang ustadz yang kelihatannya brilian dan komprehensif, namun sebetulnya hanya berupa pandangan dari sisi semantik saja, dan mungkin semua itu karena kesengajaan atau ketidak-tahuan ustadz tersebut sehingga sisi subtansinya terabaikan –atau bisa jadi sengaja diabaikan-..

Pandangan semacam itu akan sangat berbahaya karena akan dapat menolak setiap subtansi yang ada terutama yang berbeda dengan semantiknya. Orang-orang yang berjuang menegakkan nilai-nilai Islam melalui Demokrasi seperti yang menghasilkan PERDA-PERDA bernuansa Islam juga akan disebut oleh kelompok ini sebagai orang-orang kafir atau musyrik tanpa kecuali.

Pemahaman seperti itu, mau tidak mau juga akan menilai murtad atau musyrik siapa saja yang berhubungan de-ngan demokrasi, seperti :

1. Prof. DR. BUYA HAMKA,
2. KH. Hasan Basri,
3. Hidayat Nur Wahid,
4. HM. Rasyidi,
5. Hamzah Haz,
6. KH. Din Syamsyuddin,
7. KH. Ahmad Dahlan,
8. Semua anggota MUI dan DDII karena mendukung berjuang melalui demokrasi.
9. KH. Habib Rizieq,
10. Ustadz Abu Bakar Ba’ayir (mengizinkan santrinya untuk memilih presiden),
11. Zainuddin MZ,
12. KH. Syukron Ma’mun,
13. KH. M. Quraisy Syihab,
14. Para Kyai dan Ustadz yang ikut pemilu
15. dan lain-lain.

Inilah pandangan yang sangat berbahaya bila memandang segala sesuatu hanya dari sisi semantik/tekstual belaka, para ulama yang telah disepakati oleh hampir seluruh umat Islam sebagai orang-orang yang sholeh ternyata mendapat predikat sebagai seorang musyrik oleh pemahaman kelompok ini.

Yang lebih berbahaya lagi, pemahaman kedaulatan rakyat versus kedaulatan Allah SWT yang memandang dari sisi semantik saja, akan dapat mengkafirkan para sahabat, seperti :

1. Siapakah yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat?, siapakah yang memerintahkan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an menjadi satu kitab. Apakah Abu Bakar ra ataukah Allah SWT?, tentu saja orang-orang beriman dan berakal akan mejawab Abu Bakar ra yang memerintahkan bukan Allah SWT, apakah Abu Bakar ra kafir?, mau tidak mau, menurut penggulir wacana demokrasi sebagai kesyirikan yang memandang dari sisi semantik, maka Abu Bakar ra telah mengambil kedaulatan Allah SWT dan itu kekufuran yang nyata.

2. Siapakah yang memerintahkan untuk membakar mushhaf, Allah SWT ataukah Utsman?, tentu orang-orang yang beriman dan berakal akan menjawab yang memerintahkan adalah Utsman, apakah Utsman menjadi kafir karena telah memerintahkan, bukankah memerintahkan merupakan hak Allah SWT? Jika dipandang dari kaidah kelompok penggulir wacana demokrasi sebagai kesyirikan, maka, mau tidak mau harus mengatakan Utsman ra telah mengambil hak kedaulatan Allah SWT dan itu berarti telah kafir, karena telah menyamai sifat Allah yaitu memerintah.

3. Siapakah yang memerintahkan untuk bikin penjara, Umar ra ataukah Allah SWT?, siapakah yang memerintahkan untuk membakar orang-orang murtad, Ali ra ataukah Allah SWT, apakah Umar ra dan Ali ra menjadi kafir karena telah memerintah?, mau tidak mau dengan kaidah kelompok tersebut, beliau-beliau ra adalah kufur karena telah mengambil hak memerintah Allah SWT.

Dan masih banyak contoh yang lainnya, yang kalau dipandang dari sisi semantik, maka para sahabat/khalifah telah mengambil hak kedaulatan Allah SWT, karena merekalah penguasa dari rakyatnya bukan Allah SWT, apakah lantas hal itu menjadikan mereka kufur? Mau tidak mau jika mengikuti pemahaman kelompok ini maka semua khalifah telah kufur. Bukankah hal ini sangat berbahaya bagi aqidah?

Demokrasi bukan Kesyirikan

Namun bila mau melihat demokrasi dari substansinya, maka demokrasi yang kedaulatan berada di tangan rakyat tidaklah bertentangan dengan Islam yang menyatakan kedaulatan adalah milik Allah SWT, karena demokrasi itu hanya:

1. Wadah rakyat untuk memilih pemimpin yang akan mengurusi mereka.
2. Rakyat berhak mengawasi jalannya pemerintahan dan meminta pertanggung jawaban pemimpin yang mereka pilih bahkan bisa juga memecatnya bila tidak amanah.
3. Hukum yang berlaku adalah hukum yang dikehendaki rakyat, maka bila rakyat yang pro al-Qur’an dan as-Sunnah, maka hukum yang akan dilegalkan akan selaras dengan Islam.
4. Pemimpin tidak bisa membawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya atau politik yang tidak mereka kehendaki.
5. Demokrasi dapat mengakomodasi kedaulatan versi Islam, yaitu secara defacto kedaulatan ada di tangan rakyat namun secara dejure kedaulatan adalah milik Allah SWT, kedaulatan seperti itulah yang ada pada para khalifah dan yang ada pada Allah SWT.
6. Voting dalam demokrasi, bukanlah untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, bisa jadi yang menang yang salah karena mereka mayoritas, bisa jadi juga yang benar yang menang.

Voting hampir sama dengan perang, bukan untuk menentukan benar dan salah, tetapi untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, bila yang kalah yang benar, maka yang akan berkuasa dan akan memimpin adalah yang bathil, adanya kemungkinan yang bathil bisa menang tidak menjadikan demokrasi atau perang menjadi haram hukumnya.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam tausyiahnya di Masjid AL-JIHAD Kranggan memberikan jawaban yang adil ketika ditanya tentang pendirian partai politik “Selama partai tersebut memperjuangkan hukum Allah, maka dia adalah partai Allah” Inilah jawaban dari seorang ustadz yang telah berhasil melihat hal-hal yang subtansi dan tidak terjebak pada yang semantik.

Dan ketika beliau ditanya tentang perjuangan umat Islam melalui demokrasi beliau menjawab :

“Satu yang menjadi perhatian adalah bagaimana parpol Islam bisa menerjemahkan dengan tepat demokrasi. Jangan sampai demokrasi bernilai syirik,” Hal ini diungkapkan Ba’asyir kepada Sekretaris Majelis Syuro PBB Fuad Amsyari yang mengunjunginya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur.

Detik.Com 30/08/2005 18:48 WIB

Ba’asyir: Umat Islam Jangan Terjebak Jargon Demokrasi

Begitu juga HTI, telah mulai melihat demokrasi dari sisi subtansinya, sehingga Ismail Yusanto juru bicara HTI menyampaikan bahwa sekarang bisa menerima demokrasi dan ada kemungkinan akan ikut dalam politik praktis.

Apakah kelompok pengusung wacana demokrasi sebagai kesyirikan mampu melihat subtansi?, selama kelompok ini berdiam diri tidak pernah berjuang seperti IM, MMI, FPI, HTI dan lain-lain, kecil kemungkinannya akan mampu melihat subtansinya.

Dan jika kelompok ini tidak terus terjebak dalam semantikisme, tekstualisme dan teoritisme, Insya Allah, akan mampu melihat bahwa berjuang melalui demokrasi bukanlah kesyirikan.
Wallahu a’lam.

■ Malang, 23 Desember 2007

dari demokrasi.tk http://demokrasiku.wordpress.com/category/demokrasi-bukan-kesyirikan/

[+/-] Selengkapnya...

Yang penting Demokrasi haram?

Banyaknya dalil yang dilontarkan untuk mengharamkan perjuangan melalui demokrasi, menunjukkan bahwa pengharaman tersebut hanya mempunyai satu tujuan yaitu yang penting demokrasi haram, sebagai gambaran, tidak bisa mengharamkan demokrasi menggunakan dalil “A”, maka dicarinya dalil “B”, dengan dalil “B” tidak juga mampu mengharamkan demokrasi, diberondongnya demokrasi dengan dalil “C”, begitu seterusnya bahkan sampai dalil yang ke Z pun akan terus dicari dalil yang penting demokrasi haram tidak peduli dalilnya nampak serampangan.

Dahulu orang-orang mengharamkan demokrasi karena katanya demokrasi itu mengikuti suara terbanyak, menurut mereka demokrasi itu menentukan segala sesuatu berdasarkan suara terbanyak, kalau suara terbanyak itu menginginkan kemaksiatan, maka kemaksiatan tersebut akan menjadi legal, disinilah menurut mereka letak haramnya demokrasi, untuk memperkuat argumentasi ini, mereka mengambil dalil dari al-Qur’an yang menunjukkan adanya mengikuti kebanyakan orang :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya ….. QS. 6:116

Sementara itu, dalam ayat-ayat yang lain al-Qur’an menyebutkan, kebanyakan orang itu bodoh, kebanyakan orang itu dzalim, kebanyakan orang itu fasiq dan lain-lain, sehingga demokrasi, akan memenangkan yang bodoh, dzalim, fasiq dan lain-lain.

Lalu mereka tidak menggunakan dalil ini karena ternyata banyak perda-perda bernuansa Islam yang dihasilkan oleh demokrasi, banyak peraturan-peraturan pemerintahan yang memberangus pelacuran, perjudian, korupsi dan lain-lain yang dihasilkan dari proses demokrasi, sehingga argumentasi mereka yang menyatakan demokrasi akan dimenangkan oleh orang-orang dzalim, bodoh, fasiq dan lain-lain dengan sendirinya runtuh oleh adanya fakta tersebut, yang kemudian lucu dan menggelikan, mereka berkata, percuma perda syariat Islam atau penghapusan perjudian, pelacuran, korupsi dan lain-lain kalau dihasilkan melalui demokrasi.

Betapa tidak, karena sebelumnya, menurut mereka demokrasi tidak mungkin menghasilkan yang positif dan sesuai tujuan Islam, ternyata setelah adanya bukti bisa digunakan untuk tujuan positif dan sesuai dengan tujuan Islam mereka berbalik mengatakan percuma tercapainya hal tersebut kalau melalui demokrasi, nampak sekali kalau mereka hanya bertujuan yang penting demokrasi haram.

Pengambilan dalil QS. 6:116 yang melarang mengikuti kebanyakan orang juga nampak serampangan, karena ternyata pada zaman Nabi, orang-orang Mekkah telah berbondong-bondong masuk Islam, sehingga pada saat itu Islam menjadi mayoritas, dan diikuti oleh kebanyakan orang, apakah lantas Islam dilarang untuk diikuti karena telah menjadi paham kebanyakan orang?, dalil inipun terbantah dengan sendirinya dan nampak bahwa mereka hanya menginginkan yang penting demokrasi haram.

Menyadarinya dalil tersebut amburadul, dicarinya lagi dalil untuk mengharamkan demokrasi, karena tujuannya memang yang penting demokrasi haram, ketemulah dalil yang lain yaitu, kata mereka demokrasi itu bid’ah, karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammd saw, dan mereka mengancam orang-orang Islam yang ikut demokrasi akan masuk neraka berdasarkan dalil berikut :

“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah di dalam neraka”

Ancaman tersebut benar adanya dan tidak ada seorang ulamapun yang membantah keshahihan hadits tersebut, tetapi pengaplikasian ancaman tersebut kepada orang-orang yang berjuang melalui demokrasi nampak jelas nafsu mereka yang penting demokrasi haram, mereka menjadi seperti orang bodoh atau memang bodoh sehingga tidak tahu kalau ancaman hadits tersebut hanya untuk urusan-urusan ibadah mahdoh seperti sholat, doa, puasa, haji dan lain-lain, tidak untuk ibadah-ibadah ghairu mahdoh atau mu’amalah.

Pemaksaan penerapan hadits tersebut untuk urusan-urusan ibadah ghairu mahdoh atau untuk urusan-urusan mu’amalah atau untuk urusan kemaslahatan umat akan dapat menyebabkan menilai para sahabat sebagai pelaku bid’ah dan penghuni neraka, padahal para sahabat sudah terjamin masuk surga, kita ambil satu contoh ibadah yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar ra yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau pernah memerintahkan untuk membukukan al-Qur’an yang mana perbuatan tersebut sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Zaid bin Tsabit ra menyatakan memindahkan gunung jauh lebih ringan daripada menuruti perintah Abu Bakar ra, hal itu menunjukkan perintah Abu Bakar ra betul-betul sangat baru, tetapi karena hal tersebut sebagai urusan mu’amalah dan untuk kemaslahatan umat Islam maka Zaid bin Tsabit ra akhirnya dapat menerimanya.

Setelah pengaplikasian dalil bid’ah pada demokrasi ketahuan amburadul seperti pemaksaan baju wanita kepada laki-laki hingga nampak seperti banci, mereka tidak berhenti untuk mencari dalil yang lain lagi dan terus percaya diri, karena tujuan mereka satu yaitu yang penting demokrasi haram, dalil lainnya yang mereka berondongkan agar demokrasi dinilai haram adalah dalil penyerupaan atau tasyabbuh kepada orang-orang kafir atau Barat. Mereka mengutip hadits berikut :

“Dari Ibn Umar ra berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w : Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka”
HR. Ahmad,Abu Daud dan at Tabrani.

Hadits tersebut shahih dan tidak seorang ulamapun yang membantah akan keshahihan hadits tersebut, namun penerapan hadits tersebut untuk demokrasi seperti penggunaan pakaian wanita kepada laki-laki hingga nampak seperti bencong, bahkan pemaksaan dalil semacam itu akan dapat menuduh para sahabat bahkan Rasulullah saw sendiri tasyabbuh kepada orang-orang kafir, bukankah Rasulullah pernah melakukan bekam, dimana bekam adalah pengobatan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah? Bukankah keturunan penerus Mu’awiyah ra menggunakan sistem kerajaan untuk pemerintahannya di mana kerajaan adalah sistem yang digunakan oleh orang-orang kafir sebelumnya bahkan hingga kini? Bukankah Rasulullah pernah membuat parit untuk strategi peperangan yang mana parit adalah cara yang dibuat oleh pasukan Syria? Bukankah Umar membuat penjara yang mana penjara adalah cara yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir sebelumnya?

Bukankah mereka juga saat ini berbuat apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, misalnya, anak-anak mereka sekolah di sekolahan yang menggunakan sistem 6 tahun, 3 tahun, dan sistem per semester untuk pendidikan bahkan penggunaan gelar seperti LC, MA, S Ag, yang mana semua itu bukan dari Islam tapi dari Barat atau orang-orang kafir?

Bukankah mereka menggunakan uang kertas dan logam sebagai alat pembayaran?, yang mana alat pembayaran seperti itu bukanlah dari Islam tapi dari orang-orang kafir, Islam sendiri telah mencontohkan emas/perak sebagai alat pembayaran.

Bukankah mereka menggunakan kalender masehi saat ini dan meninggalkan kalender hijriah untuk penentuan tanggal lahir, tanggal acara dan lain-lain, dan masih banyak contoh-contoh yang mereka lakukan yang berasal dari orang-orang kafir tapi mereka diamkan?, sehingga sangat nampak ambisinya bahwa mereka semata-mata hanya ingin yang penting demokrasi haram, titik! Tidak peduli dalilnya tidak pas dan tidak konsisten seperti bencong, antara baju dan jenis kelamin tidak cocok atau antara dalil dan obyek permasalahan tidak cocok.

Dalil itupun kurang ampuh untuk membodohi umat Islam agar mau mengikuti hawa nafsu mereka yaitu yang penting demokrasi haram, maka dicarinya lagi dalil yang lain yaitu menurut mereka demokrasi itu merupakan kesyirikan model baru, karena dalam demokrasi ada pembuatan hukum yang berarti hal itu mengambil hak kedaulatan Allah SWT atau menyamai sifat Allah SWT, untuk menjadikan argumentasi ini nampak ilmiah, mereka mengambil dalil dari al-Qur’an dan al-Hadits, salah satunya adalah :

” Ingatlah… memerintahkan hanyalah hak Allah…. QS. 7:54.

Menurut mereka orang-orang parlemen telah mengambil hak kedaulattan Allah SWT yaitu membuat pemerintahan dan hukum.

Dalil inipun nampak sebagai dalil yang dipaksakan seperti memaksakan pakaian wanita kepada laki-laki, sehingga menjadikan laki-laki tersebut nampak sebagai banci, pemaksaan dalil ini dapat menuduh para khalifah juga telah merebut hak kedaulatan Allah SWT, siapakah yang memimpin umat Islam pada zaman Khalifah Abu Bakar ra? Abu Bakar ataukah Allah SWT, siapakah yang membuat hukum agar memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat? Abu Bakar ra ataukah Allah SWT, jawaban dari orang yang mempunyai akal tentulah Abu Bakar ra, lantas apakah ada ulama yang mengatakan Abu Bakar ra telah merampas hak kedaulatan Allah SWT dan telah murtad karena telah membuat hukum dan pemerintahan? Sampai saat ini tidak ada, entah kalau kelompok yang mengharamkan demokrasi, kalau mereka konsisten mau tidak mau harus mengatakan Abu Bakar ra telah merampas hak kedaulatan Allah SWT dan murtad.

Apakah mereka menyadari keamburadulan dalil-dalil pengharaman demokrasi? Bisa iya bisa tidak, nampaknya, bagi mereka yang penting demokrasi itu haram, titik!

Insya Allah akan kita sambung pandangan sikap mereka dari kaca mata politik, dengan judul “Siapakah Yang Menguntungkan Yahudi?”. Insya Allah.

Abu Hanif, dikutip dari DEMOKRASI.TK

[+/-] Selengkapnya...

A session with our brother: Imam Samudra

[+/-] Selengkapnya...

Braille...


Huruf-huruf...


Tanda-tanda...


Menulis...


Membaca...


Semua tanpa melihat...

[+/-] Selengkapnya...

 

© 2007 Arsip Cyber: Januari 2008 | Design by Rohman abdul manap | Template by : Template Unik