Ini link powerpoint https://drive.google.com/open?id=1xyMY2hi8HXvhvky3Q2u81T091Cae3y4L
Referensi digital pribadi
By Adez Aulia (DOM)
Yang utama bagi blogging itu bukan teknikalnya, misalnya mau pake domain sendiri, pake blogspot vs pake wordpress, melainkan justru KONSISTENSInya. Banyak orang yang ngeblog bentar lalu berhenti.
Jadi yang penting dalam nge blog itu justru adalah MOTIVASInya apa?
Sekedar sharing? lupakan, 3 bulan paling lama paling berhenti blogging.
1) Habit/kebiasaan:
Menulis itu habit, jadi sesuaikan menulis dengan habit yang telah atau akan kita lakukan selama bertahun-tahun. Misalnya sekarang, saya terus menerus melakukan perjalanan utk seminar, jadi kalau saya menulis tentang travel, akan jauh lebih mudah. Biasanya kalau kita menulis yang bukan habit kita, gak lama kita akan kehabisan bahan, mulai bingung apa yang bisa kita tulis, dan akhirnya berhenti deh nge-blog.
2) Reward Finansial
Apakah anda mengharapkan finansial reward/uang dari menulis blog. Misalnya dari menulis blog, orang membaca blog lalu masuk ke toko online anda di Iklan baris online/marketplace. Biasanya kalau setelah nge blog lalu ternyata tidak mendapat penjualan, nge blog nya berhenti
3) Reward Non finansial
Kalau saya reward paling utama bukanlah finansial, melainkan berinteraksi, jadi saya malah lebih sering menulis di group saya ini, karena setiap ada tulisan, akan ada teman2x yang mengajak ketemu, mengundang saya hadir di kotanya, bertanya dan kerjasama. Jadi saya menulis dulu di sini, barulah dokumentasinya ditulis di blog saya. Sehingga blog bukanlah media saya yang utama untuk berkomunikasi, melainkan support bagi interaksi saya di social chat seperti Telegram.
4) Support business offline
Konten di blog juga bisa support bisnis, misalnya dengan membaca blog maka pengunjung jadi datang ke toko atau resto/cafe yang kita miliki, dan semua info tentang bisnis kita bisa didapat di blog.
Kalau ternyata blog tidak berhasil menjadi support bagi bisnis, ya nge-blognya biasanya berhenti.
Mungkin teman2x bisa melengkapi motivasi lainnya.
Coba tanya dulu kepada diri masing2x. Apa MOTIVASI utk menulis blog. kalau belum ketemu motivasinya, biasanya susah memulai, atau susah utk konsisten terus menulis.
👆🏽👆🏽👆🏽
Sekian sharing saya tentang TIPS BLOGGING. Silakan dibaca yaaa
Kuliah di kedokteran biayanya mahal. Baru uang masuknya saja bisa sampai 150juta. Biaya kuliah plus biaya praktek sangat besar. Lulus jadi dokter juga tdk mudah. Materi yg harus dikuasai seabreg abreg. Meski lulus harus koas atau magang. Harus menjalani dinas dulu yg penempatannya di daerah terpencil yg kurang dokter sebelum resmi diangkat jd dokter.
Makanya jd dokter itu pengabdian. Modal besar, waktu belajar yg lama dgn resiko besar. Kalo ndak becus sampai mal praktek bisa diperkarakan dan masuk penjara, belum lagi nasib pasien yg salah penanganan tidak sembuh malah tambah parah atau bahkan meninggal.
Makanya dokter tarifnya mahal. Peralatan dan obatnya mahal. Pasien berani bayar berapapun (seandainya mampu) untuk bisa sembuh, secepatnya. Seandainya mampu banyak pasien yg maunya dirawat kamar VIP kalau perlu di RS Singapore. Tdk pakai antri di BPJS.
Dokter yg mengajar juga maunya dibayar tinggi. Dokter mengajar setidaknya S2 atau dokter spesialis. Saat praktek dokter spesialis tarifnya selalu lebih tinggi dari dokter umum. Andaikan satu mahasiswanya membayar seperti satu pasiennya yg datang ke tempat praktek dokter spesialis, kira2 setiap pasien bayar 50ribu maka untuk 50 mahasiswa setidaknya 2.500.000 tiap kali pertemuan. Belum lagi materi yg diajarkan umumnya sulit dan harus valid. Para mahasiswanya yg diajari begitu lulus jadi dokter langsung bisa bekerja dengan bayaran yg tinggi. Dan jadi pesaing potensial dokter yg mengajar. Jadi biaya sekolah kedokteran yg besar itu wajar. Sebagai investasi masa depan.
Sebentar... aku kok jadi merinding ya.. aku tdk akan pernah jadi dokter tapi berkali-kali jadi pasien. Kalau biaya pengobatan sedemikian mahal bagaimana nasib awak...
By: Hamid Fahmy Zarkasyi
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat "It's like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supportemya yg fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it's like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi tidak di Inggris. Sepakbola agamanya orang Inggris dan mereka rajin pergi ke rumah ibadahnya di stadion tiap weekend. Thowaf mengitari stadion 'theater of dream' di Manchester biasa dilakukan setiap kesebelasannya menang.
Di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yg disinyalir al-Qur'an araayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik.
Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.
Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yg khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yg Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah "Rasa ketergantungan yg absolut" (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah Apa yg kita lakukan dalam kesendirian. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi edefinisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yg punya tradisi penuh dengan ritus ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yg terpisah dari matriks kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).
Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan kristen yg bermasalah. Agama Barat –Kristen- kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.
Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu, 'Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan'. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia. Salah satunya dgn konsep trinitas agar tampak logis. Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, agama-agama yg ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yg menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: "Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat". Artinya "Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri". Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind ia mengategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang.
Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yg tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yg justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut al falasifah. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan harus' mengikuti peraturan akal manusia. Ia "tidak boleh" menjadi tiran, "tidak boleh" ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yg mengatur alam semesta dianggap absurd jika ikut mengurusi masalah manusia.
Tuhan yg personal dan tirani itulah yg pada abad ke 19 “dibunuh" Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it's really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Meskipun Tuhan pengatur alam semesta tapu Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak "Politik Islam, No" tapi lalu berbisik "Berpolitik, yes"... Money Politik laa siyama (apalagi)
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. "Ini proyek besar bung!” kata fulan berbisik. "Ini zaman globalisasi dan kita harus akur" kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang "Ya akhi, tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya"; "Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan". Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis "Anda jangan menganggap agama anda paling benar". Tak ketinggalan para ulama diperingati "Jangan mengatasnamakan Tuhan”.
Kini semua orang "harus" membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan "Kalau anda tidak pluralis anda pasti berideologi teroris fundamentalis"
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka "yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama" mungkin dianggap kuno. Kini yg laris manis adalah konsep global theology nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F Schuon.
Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yg absolut selain Allah" artinya tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah'. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.
Walhal Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yg absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat "Yesus Tuhan kita juga”. Dan Kyai non muslim disambut cium tangan para santriwati di serambi masjid pesantren.
Rhenald Kasali
17 March, 2016
Senin (14/3) lalu kawasan Balai Kota DKI Jakarta, Istana Negara, dan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika diserbu ribuan pengemudi taksi.
Mereka berdemo menolak kehadiran taksi yang berbasis aplikasi online. Anda pasti bisa dengan mudah menerka penyebabnya. Iya, penghasilan mereka terpangkas akibat hadirnya taksi berbasis aplikasi. Bahkan sebetulnya bukan hanya taksi itu yang membuat penumpang berpindah. Ojek online merebut sebagian pasar taksi konvensional.
Mereka mengeluh, utang setoran ke perusahaan terus bertambah. Padahal, uang yang dibawa pulang untuk makan anak-istri makin turun. Kita tentu prihatin dengan kenyataan tersebut. Apalagi jumlah pengemudi angkutan umum ini tidak sedikit. Seluruhnya bisa mencapai 170.000-an. Sampai di sini Anda mungkin bergumam: mengapa mereka tidak berubah saja? Ke mana para eksekutifnya? Mengapa mereka membiarkan pasarnya digerus para pelaku bisnis online tanpa berupaya melakukan perubahan internal? Tentu semua ini tak akan mudah.
Sampai di sini adagium perubahan kembali berbunyi: kalau rasa sakit manusia itu belum melebihi rasa takutnya, rasanya belum tentu mereka mau berubah. Maaf, pesan ini berlaku buat kita semua, baik yang sedang duka maupun yang masih gembira. Tapi, supaya fair, kita juga mesti melihatnya dari sisi yang lain, yakni pengemudi taksi berbasis aplikasi dan ojek online .
Mereka juga tengah mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak istrinya. Lalu, pelanggannya juga senang memakai taksi berbasis aplikasi karena serasa naik mobil pribadi dan tarifnya pun murah. Begitu selesai langsung turun. Praktis. Tak pakai bayar-bayaran tunai. Bisnis taksi berbasis aplikasi ini juga punya pesaing. Anda bisa klik www.nebeng.com. Iniaplikasi yang juga mempertemukan pemilik kendaraan pribadi dengan mereka yang membutuhkan angkutan ke arah yang sama.
Tarifnya tak kalah bersaing. Misalnya tarif dari Perumahan Vila Nusa Indah di Bekasi ke Jakarta hanya Rp15.000 sekali jalan. Murah! Para pemilik kendaraan yang rela “ditebengi” ini juga ikut andil dalam mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketimbang setiap orang naik mobil pribadi, lebih satu mobil dipakai bersama-sama dengan cara nebeng. Jumlah mobil yang masuk ke Jakarta jadi lebih sedikit.
Pertarungan Business Model
Tapi, mari kita bahas soal perseteruan taksi konvensional vs taksi berbasis aplikasi. Hadirnya taksi berbasis aplikasi, menurut saya, adalah penanda datangnya era crowd business. Apa itu crowd business? Sederhana. Ini bisnis yang kalau Anda mencoba mencari polanya bakal pusing sendiri. Sebab serba tidak jelas. Misalnya, tidak jelas batasan antara produsen dan konsumen. Juga, tidak jelas kreditor dengan debitor.
Siapapun bisa menjadi pemasok Anda, tetapi sekaligus menjadi konsumen Anda. Crowd business kian kencang berputar akibat kemajuan teknologi informasi— yang terutama membuat arus informasi mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi. Dulu kalau kita mau mencari suatu barang mesti menghabiskan waktu, tenaga dan uang. Kita datang ke beberapa toko, melihat barang, membandingkan harganya, dan melakukan tawar-menawar.
Kalau setuju, baru kita membayar. Kini tidak perlu lagi. Kita cukup berselancar di dunia maya, mencari barang dan membandingkannya, memilih, memesan, lalu membayar. Semuanya bisa dilakukan tanpa kita harus beranjak dari kursi dan dengan biaya nyaris nol. Itu pula yang terjadi dalam perseteruan antara bisnis taksi konvensional vs taksi berbasis aplikasi.
Di bisnis taksi konvensional, kita bukan hanya harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung juga mesti menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya, biaya listrik dan AC, dan sebagainya. Di bisnis taksi berbasis aplikasi, kita tidak ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi, tak mengherankan kalau tarifnya bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.
Untuk rute Cakung ke Halim Perdanakusuma yang samasama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional tarifnya Rp105.000, sementara dengan taksi berbasis aplikasi hanya Rp55.000. Ini jelas pilihan yang mudah buat calon konsumen. Switching cost dalam industri ini amat rendah. Maka terjadilah downshifting. Lalu, bagaimana yang satu bisa lebih mahal ketimbang yang lain? Ini adalah persoalan model bisnis.
Analoginya mirip bisnis penerbangan full service dengan low cost carrier (LCC). LCC mendesain model bisnisnya dengan memangkas berbagai biaya, sehingga tarifnya menjadi lebih murah ketimbang maskapai penerbangan yang full service. Model bisnis inilah yang membuat bisnis taksi era lama bakal segera usang.
Pesaingnya bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Selamat datang di peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy.
Berdamai, bukan Menentang
Kasus serupa bisnis taksi bakal kita jumpai dalam bisnis-bisnis yang lain. Di luar negeri, pangsa pasar bisnis perbankan mulai terganggu oleh hadirnya perusahaan-perusahaan crowd funding. Anda bisa cek ini di www. l e n d i n g c l u b . com. Perusahaan ini mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Bedanya, proses mendapatkan kreditnya jauh lebih simpel ketimbang perbankan, dan suku bunganya pun lebih murah. Di Indonesia, bisnis ala lending club sudah ada. Anda bisa cek website-nya di www.gandengtangan.org. Memang untuk sementara bisnis yang didanai masih untuk usaha skala UMKM dan social enterprise. Tapi, siapa tahu ke depannya bakal melebar ke mana-mana Di luar negeri, ada www.airbnb.com yang mempertemukan para pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya dengan orang-orang yang mencari penginapan.
Soal tarif, jelas lebih murah ketimbang hotel. Lalu, ada juga aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen angkutan darat. Namanya Lyft. Hadirnya aplikasi ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis bisnis yang sudah mapan—yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan.
Persis kata Charles Darwin, "bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan". Maka, kita harus berdamai dengan perubahan. Bagaimana caranya? Di luar negeri, para pengelola chain hotel berdamai dengan kompetitornya, para pemilik rumah yang siap disewakan melalui jasa www.airbnb.com . Caranya, mereka menjadi pengelola dari rumah-rumah yang bakal disewakan tersebut sehingga ruangan dan layanannya memiliki standar ala hotel.
Belum lama ini saya menikmatinya di sebuah desa di Spanyol Selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego, perusahaan mainan anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990-an. Hadirnya video games membuat anak-anak kita tak berminat lagi dengan batu bata mainan buatan Lego. Namun, perusahaan itu mampu bangkit lagi dengan mengandalkan inovasi dari orangorang di luar perusahaan, atau crowd sourcing. Mereka semua belajar dari model bisnis Kick Starter yang fenomenal. Lego tak melawan perubahan, tetapi berdamai. Saya tidak punya resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan mesti menghadapi perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan.
Demikian juga pesan saya kepada bapak Presiden, Menteri Perhubungan, Gubernur DKI, dan Menteri Kominfo. Kita butuh cara baru yang berdamai dengan perubahan.
© 2007 Arsip Cyber | Design by Rohman abdul manap | Template by : Template Unik