Oleh: Bagus Sugiharta
http://layarperak.com/news/reviews/2007/index.php?id=1167671262
Kutukan Bunga Serunai? “Curse of the Golden Flower”. Film teranyar arahan Zhang Yimou yang dibintangi Gong Li dan Chow Yun Fat ini patut dipertanyakan perihal akankah ia mampu menjadi komoditi contender asal negeri Timur yang bersaing dalam berbagai ajang festival film internasional. Mengapa hal ini perlu dipertimbangkan? Perlu, mengingat perjalanan film-film Cina dewasa ini yang mengalami degradasi dalam hal kuantitas tapi akseleratif dalam hal kualitas.
Masih terkenang di benak atas kejutan “Crouching Tiger, Hidden Dragon” di ajang perebutan Oscar, “House of Flying Daggers” yang sensasional dalam nominasi Best Foreign Language Film di berbagai perhelatan apresiasi film, dan “Kung Fu Hustle” yang dielu-elukan banyak kritikus-film Barat. Dari sini, dapat kita rasakan dinamika kultur sinematik Cina. Satu lagi milestone tertancap dalam periodisasi sejarah perfilman Cina. Bagaimana dengan Jet Li’s “Fearless”? Film yang terakhir ini meski masih membawa jiwa natural seni beladiri namun telah mengusung esensi film-film Cina terkini. Nilai kelembutan, kemegahan, dan keanggunan yang berpoleskan estetika.
Cukup gamang untuk menceritakan sinopsis “Curse of the Golden Flower”. Terlalu sederhana diungkapkan, terlalu rumit diterangkan. Mendingan langsung menonton ketimbang membahas sinopsisnya. Satu hal yang jelas, film ini mengisahkan kompleksitas intrik dalam kekaisaran yang terjadi pada masa Dinasti Tang (abad X). Ketegangan antara kaisar dan permaisurilah yang menjadi titik sorot penguraian konflik.
Film ini tidak tepat bagi siapa saja yang sedang ingin bersenang-senang. Tentu, tidak asyik pula untuk yang bertujuan malam-mingguan. “Curse of the Golden Flower” benar-benar sandiwara Tiongkok. Lengkap dengan ironi dan nilai-nilai falsafah leluhurnya. Hampir semua pelakonnya berakting teatrikal, tapi nggak overact. Ini dibutuhkan karena ini film sandiwara. Hal teknis yang patut disoroti ialah segi sinematografi. Sinematografi “Curse of the Golden Flower” masih mengekor pada teknis mutakhir film-film Cina. Kekerasan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi tontonan yang indah. Indah karena sukses mengubur kesan vulgar dalam sebuah melodrama. Spektakel. Menerjemahkan teater ke dalam dimensi gambar bergerak.
Ada kabar kalau film ini banyak menuai kritik, bahkan dari orang-orang Cina sendiri, dari segi kostum. Benarkah pada saat itu kostum kekaisaran sedikit buka-bukaan, dengan dada “mencotot”? Hal ini jelas menimbulkan penasaran. Sebelum tersibaknya info-info baru, tentunya departemen artistik “Curse of the Golden Flower” masih dapat dipercaya mengingat bahwa ini film besar. Pasti ada riset dalam praproduksi filmnya.
Akankah ia mampu menjadi komoditi contender asal negeri Timur yang mampu bersaing dalam berbagai ajang festival film internasional? Tak ada jawaban yang mutlak. Yang jelas, penghormatan terhadap budaya sendiri jauh lebih dihargai ketimbang imitasi budaya asing. Di sinilah “Curse of the Golden Flower” menghormati budaya sekaligus memperkuat perfilman Cina. Lalu mari kita berkaca, bagaimana dengan perfilman Indonesia? Sepertinya harap-harap cemas.
(Penulis ialah penikmat film yang tinggal di Kota Gudeg)
Alamat e-mail penulis: aries_sugiharta@yahoo.com
Curse of the Golden Flower: Salut atas Perfilman Cina
Label: Film
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment