Oleh: Ichwan Persada
http://layarperak.com/news/legalbiz/2006/index.php?id=1157233606
Ini pertanyaan yang mengganggu saya selama beberapa waktu. Dan mungkin membuat produser juga ketar – ketir ketika jadwal rilis film sudah di depan mata. Praktis, hanya HEART yang sukses mengumpulkan penonton konon hingga 1,1 juta orang dalam jangka waktu sebulan. Maaf atas penggunaan kata ”konon” ini karena meski saya beserta tim ikut membantu promosi film ini ke 5 kota, saya juga harus secara jujur tak meyakini angka itu secara pasti. Yang bisa saya pastikan, bahwa film ini memang membuat antrian panjang, membuat histeria, yang saya lihat dengan mata kepala sendiri ketika melakukan roadshow di daerah.
Setelahnya film Indonesia ”nyaris tak terdengar”, seperti kata jargon iklan. Apa yang salah dengan ini? Apa film kita memang over supply, seperti kata salah satu produser? Mungkin promosinya tak sampai ke target audiens yang diinginkan? Atau bisa jadi bukan film jenis itu yang diinginkan penonton?
Kalau semuanya dibahas, mungkin artikel ini akan jadi terlalu panjang, laiknya persoalan yang melingkupi perfilman nasional yang menurut saya, juga terlalu kompleks. Saya mencoba membahasnya saja dari satu – dua sudut pandang, agar lebih fokus. 5 hari terakhir (dan masih terus berjalan, entah sampai kapan), saya membuat semacam kuisioner untuk memantau seputar animo masyarakat terhadap film Indonesia. Saya tidak memakai metode ilmiah yang biasa diterapkan lembaga – lembaga riset. Kuisionernya berisi pertanyaan – pertanyaan sederhana dan didistribusikan via e-mail ke ratusan orang yang tak saya kenal. Sebagian menilai film Indonesia terpuruk karena ”cerita yang begitu – begitu saja”. Ini bukan isu yang baru sebenarnya, tapi saya rasa harus jadi perhatian serius. Dalam 2 tahun belakangan, bioskop kita memang diserbu film lokal, namun ceritanya memang terkesan monoton. Jika tak disikapi dengan hati – hati, akan makin banyak masyarakat yang mencemooh film kita sendiri.
Yang juga menarik perhatian saya adalah strategi marketing. Karena berada di ruang lingkup bidang ini hampir 2 tahun, memang saya melihat nyaris tak ada ide movie marketing yang ”out of the box”. Hampir semua film diperlakukan sama, padahal mestinya beda konten, tentu harus beda pula konsep promosinya. Saya punya sejumlah contoh kasus, namun agar tak ada yang tersinggung, baik nama PH maupun judul film harus saya samarkan. Saya pernah diberi tanggung jawab mempromosikan satu film yang jelas – jelas bukan film dengan segmentasi anak muda. Setelah menonton filmnya (kebiasaan meminta special preview pada produser sebelum membuat strategi promosi film, mulai saya lakukan dalam 6 bulan terakhir), saya menentang keras agency yang mengontrak saya yang memasang spot iklan film itu di radio bersegmen remaja yang memang punya pendengar luar biasa banyak. Yang juga menggelikan menurut saya, ketika agency tersebut lagi – lagi bekerjasama dengan majalah yang sudah sangat jelas segmennya : REMAJA. Alhasil, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, filmnya jeblok di pasaran !
Ada satu lagi pengalaman yang ingin saya bagikan, lantaran membaca artikel dari The Wall Street Journal. Mereka percaya bahwa tidak ada gunanya lagi film bioskop beriklan di TV. Saya cukup sepakat dengan itu untuk urusan pemutaran trailer, tapi untuk acara berbau review film, rasanya masih cukup penting buat promosi. Ada 2 film nasional yang saya catat beriklan gila – gilaan di salah satu TV, tapi dua – duanya juga gagal di pasaran.
Promosi film kita dari dulu sampai sekarang memang masih begitu – begitu saja. Bikin poster, flyer, website, baliho, roadshow dan iklan di TV/radio plus wawancara media. That’s it. Saya rasa promosi seperti ini hampir semua orang bisa melakukannya. Maka ketika belakangan saya mulai intens mengikuti perkembangan movie marketing secara global, saya jadi malu sendiri sebagai orang yang juga sangat sering terlibat dalam promosi film nasional. Perfilman Hollywood jadi besar bukan semata persoalan kapital, tapi juga ide kreatif yang terkadang edan – edanan. Contoh yang paling segar adalah film SNAKES ON A PLANE. Mendengar judulnya saja pada awalnya saya emoh. Karena di telinga saya yang sering sok pintar, judul itu terdengar bodoh. Ada ular di pesawat, so what ?!?! Tapi cara memasarkannya sungguh brilyan. Mereka telah membangun komunitas penggila film ini via internet jauh sebelum filmnya dirilis. Dan saya pun baru tersadar bahwa mereka mencoba membuat film yang super menegangkan menurut asumsi saya. Menggabungkan beberapa jenis fobia : fobia pada ular, fobia takut terbang hingga fobia pada ruangan tertutup. Dan pihak pembuatnya sadar betul bahwa ini film hiburan semata. Titik. Maka jika film Indonesia sepertinya wajib membuat press screening sebelum film dilepas untuk umum, maka SNAKES ON A PLANE membuatnya setelah dirilis ke pasaran. Saya rasa mereka punya kengerian untuk “dibantai” wartawan, apalagi publik disana bisa percaya pada kritikus yang disegani. Dan strategi ini berhasil. Ketika dilepas, film ini langsung memuncaki box office. Caci maki kritikus tak digubris lagi oleh penonton. Toh filmnya memang dianggap menegangkan dan yang terpenting, menghibur. Dan penonton berbagi hal itu melalui berbagai cara. Via blog salah satunya, juga word of mouth yang sangat ampuh.
Banyak sekali ide – ide segar yang mestinya bisa dipakai untuk mempromosikan film nasional. Saya cuma bisa meringis ketika sebuah film horor dirilis dengan menghembuskan gimmick bahwa ada hantu beneran yang terekam kamera. Bukannya gimmick ini dijual oleh semua film horor? Saya juga tertawa dengan isu perselingkuhan artis A dengan artis B, beberapa saat sebelum sinetronnya tayang. Masih lakukah gimmick murahan semacam ini?
Kapan perfilman kita bisa maju jika kita sudah terhanyut dalam comfort zone, mengerjakan hal – hal rutin saja yang pencapaiannya pun tak bisa terukur dan dipertanggungjawabkan? Jangan heran memang jika film kita bisa flop lagi untuk kesekian kalinya ......
Penulis adalah Direktur FreeHand Communications, bergerak di bidang distribusi, eksibisi dan promosi film. Kini sedang berkutat mengembangkan ”Out of The Box Movie Marketing”.
(3 September 2006)
Kenapa Film Indonesia (menuju ke) Flop Lagi ?
Label: Film
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment